Banyak sumber yang menyatakan bahwa Pontianak selalu dikaitkan dengan hantu kuntilanak. Pontianak yang berada di kalimantan barat ini didirikan pada 23 Oktober 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie. Dia adalah putra dari Al Habib Husin seorang penyebar ajaran agama Islam dari Jazirah Arab.
Menurut cerita Syarif Abdurrahman, saat itu ia sedang menyusuri Sungai Kapuas dan sering diganggu hantu kuntilanak. Untuk membuat kuntilanak itu pergi, ia terpaksa melepas tembakan meriam. Untuk menandakan di mana peluru meriam itu jatuh, maka di sana dijadikan wilayah Kesultanan Pontianak yang didirikannya. Dia menembakkan meriam itu ke tiga titik atau tiga penjuru. Suara kencang dari tembakan meriam tersebut berhasil menakuti kuntilanak hingga mereka pergi.
Ketiga titik itulah yang menjadi pusat pembangunan Pontianak, yaitu Istana Kadriah, Masjid Jami Sultan Abdurrahman, dan tempat pemakaman anggota keluarga Kesultanan Pontianak. Jadi, kota Pontianak konon tempat kesukaan kuntilanak. Warga setempat menyebutnya berbeda, Puntianak yang berarti “perempuan mati beranak”.
Soal jatuhnya peluru meriam yang ditembakkan juga ada kisah lain antara lain jatuh di persimpangan Sungai Kapuas Kecil, Sungai Kapuas Besar, dan Sungai Landak. Namun, cerita asal-usul Pontianak ternyata banyak versi. Ada yang menyebutkan kata itu berasal dari pohon Punti atau pohon yang sangat tinggi. Hingga sekarang Pulau Kalimantan terkenal dengan hutan rimba dengan pohon-pohon yang tinggi.
Hal itu dibuktikan dari isi surat antara Husein Bin Abdul Rahman Al-Aidrus Kepada Syarif Yusuf Al-Kadrie. Berikutnya, versi lain mengatakan Pontianak berasal dari kata Pontian. Pontian artinya pemberhentian atau tempat singgah. Kala itu, banyak pelaut dan pedagang yang memilih Pontianak untuk tempat singgah sementara sebab wilayah itu merupakan tempat yang strategis.
Ada pula yang berkisah nama itu berasal dari kata Pontian berasal dari bahasa Mandarin yakni Kun Tian yang artinya tempat pemberhentian. Sebagian besar orang tua Tionghoa di sana masih menyebut dengan nama Kun Tian.
Selanjutnya, pada tahun 1778 (1192 H), Syarif diangkat menjadi Sultan Pontianak pertama. Sebagai pertanda kekuasannya, dibangunlaj sebuah Masjid Jami’, yang kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman dan Istana Kadariah yang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur.
Seorang sejarawan Belanda dalam buku “Borneos Wester Afdeling”, V.J. Verth, menuliskan sejarah kota Pontianak yang isinya sedikit berbeda dengan cerita yang banyak beredar saat ini. Verth dalam bukunya menyebutkan, Belanda masuk ke Pontianak pada tahun 1194 Hijriah (1773 Masehi) dari Batavia.
Ada pun Syarif Abdurrahman merupakan putra ulama dari Syarif Hussein bin Ahmed Alqadrie, atau dalam versi lain dikenal sebagai Al Habib Husin. Syarif meninggalkan kerajaan Mempawah dan mulai hidup merantau.
Saat berada di wilayah Banjarmasin, Syarif menikah dengan adik sultan Banjar, Sunan Nata Alam dan dilantik sebagai Pangeran. Syarif berhasil dalam kegiatan berdagang dan mengumpulkan modal yang cukup banyak untuk mempersenjatai kapal pelancang dan perahunya. Syarif memulai perlawanannya terhadap penjajahan Belanda.
Dengan bantuan Sultan Pasir, Syarif berhasil membajak kapal Belanda yang berada di dekat Bangka dan kapal Inggris serta Perancis di Pelabuhan Pasir. Setelah itu, Syarif menjadi orang yang berkecukupan dan mencoba untuk mendirikan permukiman di sebuah pulau di Sungai Kapuas. Syarif menemukan cabang dari Sungai Landak yang kemudian dikembangkan menjadi pusat perdagangan yang makmur. Nah, kawasan inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pontianak.
Setelah itu, Syarif menjadi orang yang berkecukupan dan mencoba untuk mendirikan permukiman di sebuah pulau di Sungai Kapuas. Syarif menemukan cabang dari Sungai Landak yang kemudian dikembangkan menjadi pusat perdagangan yang makmur.
Nah, kawasan inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pontianak. Pontianak dikenal sebagai kota khatulistiwa yang dilalui garis lintang nol derajat bumi. Di kota ini dibangun sebuah monumen atau Tugu khatulistiwa di daerah Siantan.