Mengenal Sejarah Candi Kidal
Pulau jawa tak perna lepas dari kata cerita dari peninggalan-peninggalan sejarah dari masa penjajahan dan masa kerajaan. Banyak peninggalan-peninggalan yang menjadi sejarah di malang salah satunya candi kidal merupakan candi peninggalan kerajaan singhasari.
Candi kidal ini terletak di desa rejokidal, kecamatan tumpang, kabupaten malam. Candi ini di perkirakan sebagai candi pemujaan tertua di jawa timur yang muncul karena perintahan airlangga (11-12 M) dan raja-raja kendiri (12-13 M) hanya saja meninggalkan candi belahan dan jalatunda. Kedua candi ini merupakan pertirtaan atau pemandian.
Candi Kidal dibangun sebagai bentuk penghormatan kepada Raja Anusapati. Candi ini dibangun agar Sang Raja mendapat kemuliaan sebagai Syiwa. Candi Kidal dibangun pada 1248 M, setelah upacara pemakaman ‘Cradha’ untuk Anusapati.
Garudeya merupakan relief yang terpahat pada badan candi Kidal. Adanya pahatan relief Garudeya pada tubuh candi Kidal diperkirakan sebagai amanat dari Raja Anusapati. Amanat ini muncul karena keinginan besar Anusapati untuk meruwat ibunya, Kendedes. Mitos Garudeya tertuang dalam tiga panil yang terpahat pada kaki candi. Ketiga panil Garudeya tersebut dipahat pada pilaster (tiang semu) bagian tengah batur candi Kidal. tepat pada sisi Selatan, Timur dan Utara.
Cerita Mitos Garudeya
Garudeya merupakan sebuah mitos yang hidup di kalangan masyarakat Jawa Kuno, terutama yang terpengaruh Hinduisme. Amretamantara merupakan salah satu episode cerita yang terdapat dalam Adiparwa, yaitu bagian pertama dari wiracarita Mahabrata.
Pokok kisah tersebut berkenaan dengan keluarga Viyasa, tepatnya kisah ganeologis Vyasa (Byasa) dengan kedua istrinya, beserta kejadian dramatik seputar anak keturunan keduanya. Kedua istrinya bernama Winata dan Kadru.
Kendi Patirtan Kehidupan itu bersumber dari relief Garudeya di Candi Kidal. Relief menggambarkan seekor garuda menyangga kendi berisi air suci (tirta amerta). Menurut mitos, itu menceritakan seorang anak yang berusaha menyelamatkan ibunya dari perbudakan.
Kisah itu diibaratkan penyelamatan ibu pertiwi sekaligus menyelamatkan sumber kehidupan. Keramik karya Ponimin itu diberi beragam judul seputar air dan kehidupan. Misalnya, ‘Menggapai Patirtan Suci’, ‘Siklus Patirtan Kehidupan’ sampai ‘Elang Kembar Penjaga Keagungan Patirtan’.
Air dalam kendi sebagai simbol kehidupan. Ada banyak kebudayaan kita yang bisa menjadi sumber inspirasi dalam berkarya. Keramik berbentuk dasar kendi itu sekaligus bentuk keprihatinan dengan semakin tergerusnya budaya lokal berupa kendi itu. Masyarakat Indonesia kalah dengan masyarakat Tiongkok maupun Jepang yang masih merawat budaya minum teh dengan teko untuk penyajiannya.
Secara tak langsung, tradisi di Tiongkok dan Jepang itu turut melestarikan perajin keramik. Indonesia memiliki budaya lokal ngunjuk tuyo wening atau minum air bening dengan kendi sebagai wadahnya. Tapi, tradisi itu kalah dengan kehidupan modern yang meminum air dari gelas atau wadah berbahan plastik dan kaca. Minum air dari kendi diyakini lebih menyehatkan.