Media gerak menjadi sangat penting dalam suatu bentuk tari. Bali sudah memiliki pola pakem tari yang khas mengapaa gerak ini menjadi penting dalam membahas bentuh seni joged hal ini tidak terlepas dari konsumsi indah yang di butuhkan agar mampu menghibur dan lari di perjualkan. Atas dasar konsep indah kemudian menjadi pakem pola gerak tarian bali mengapa komodifikasi. Perubahan seperti apa yang terjadi tanpak dianggap sebagai suatu proses untuk saling memahami satu sama lainnya.
Dalam perjalanan awal mula tari pergaulan seni joged bumbung, karakteristik gerak senantiasa mengikuti pola pemikiran masyarakat yang berkembang pada masanya. Katakana saja pada masa budaya agraris seni gerak tari joged berorientasi pada estetikanya yang memenuhi kreteria gerakan ke samping mencolek hanya pada bagian belakang pinggul. Melakukan permulaan dengan mengambil struktur pola agem kiri dan kanan disertai dengan pola ulap-ulap atau gerakan memperhatikan seolah memandang dengan sudut perhatian yang lebih terfokus.
Rupa-rupanya gerakan seperti itu sudah dianggap klise dan tidak mudah untuk menjualnya. Gerakan yang muncul sebagai bentuk perubahan yang dianggap menjanjikan dapat digambarkan mengoyak nilai normative di atas panggung pertunjukan telah diubah menyerupai tari striptis yang mengarah pada kepuasan seksualitas.
Dalam kacamata gender dimana persoalan eksploitasi tumbuh dan pelecehan terhadap harga diri wanita dianggap tabuh. Pelecehan dan peninstaan terjadi di sudut ruang pertunjukan pertama eksploitasi wanita sebagai simbol penguasa atas tubuh wanita di katakana telah dipraktikan secara tidak sadar oleh wanita itu sendiri sebagai unsur pelaku dalam tindakan yang di dominasikan oleh kekuasaan. Agen-agen yang bermain di dalam seni joged bumbun meliputi pengontrak, pemimpin sekaa.
Hal itu terjadi karena adanya ketidaksadaran atau kesadaran palsu yang muncul pada penari joged secara induviual dan kelopok pada masyarakat termasuk sekaa yang bermain sebagai akibat dampak ekonomi yang bermain di dalamnya. Kenyataan konsep terjadinya konsep gender yang menempatkan wanita sebagai mahkluk alamiah secara genetic memiliki naluri seks telah dimanfaatkan demi kepentingan kepuasan penikmat secara berlebihan telah dilakukan tanpa sadar. Ini adalah sebuah kenyataan dimana estetika dalam seni joged bumbung mengalami perubahan akibat tekanan ekonomi. Di terima atau tidak penurunan kadar estetika seni joged yang berkembang tidak lagi murni sebagai estetika.
Kenyataan ini memberi petunjuk bahwa kesadaran rendah masyarakat didalamnya menikmati bentuk keindahan di garis bawahi. Seni joged bumbung memiliki dua versi
-
Gaya pertama
Pertunjukan joged yang menekan pada gaya atau ciri dari perpaduan antara keahlian menari duet (berdua) dengan focus untuk saling menggoda satu sama lainya lewat keahlian atau keterampilan menari. Kontak tubuh secara dekat tidak perna berkembangkan. Pakaian yang menunjukan ciri lokalitas dengan kain kamen penutup kaki dan pinggul dan bagian pinggang terlilit oleh kain panjang dengan dandanan hiasan ala penari bali. Etika yang di kembangkan berukuran ruang dalam perbedayaan imijinatif gerakan tari dan pengisian dinamika yang terbentuk dengan isian candaan yang menggoda dengan hal hal tabu tetap memperhatikan kepuasan dalam primer etika agama yang jelas.
-
Gaya kedua
Pertunjukan seni joged yang mengandalkan agresifitas gerakan seksual denegnan memberi dan merangsang lawan penari untuk saling beradu sampai batas kekuatan kesopanan dan etika publikasi terkoyak. Beberapa bagian masih tetap sama pada pola tari bali namun proses keterlibatan penonton di lakukan mulailah aksi itu dijadikan ajak menunjukan profesionalan penari dalam batas batas yang sudah tidak jelas antara menari dengan merangsang.
Masih soal joged bumbung, siapa sangka masyarakat Bali sendiri menolak adanya tarian itu. Usut punya usut, mereka memang mengakui joged bumbung, namun tidak yang seperti yang sekarang yang lebih ke arah tarian erotis.
Joget “Bumbung” saat ini dekat dengan aktivitas birahi
Image mengenai tarian asli Bali yang satu ini identik dengan kesan negatif. Pasalnya setiap pagelaran ini diadakan selalu banyak lelaki “hidung belang” yang siap menanggap. Itu bukan hal yang aneh mengingat tarian yang disuguhkannya juga sangat erotis.
Bayangkan saja para penari perempuan menari begitu seksinya sambil menarik para penonton maju ke depan. Bahkan tak jarang para penari itu malah mempertunjukkan gerakan layaknya orang bersenggama dengan para pria yang ditarik tadi. Mirisnya hal itu dilakukan di tempat umum di mana anak-anak di bawah umur pun bisa melihatnya.
Inovasi kebablasan beberapa oknum membuat joged bumbung keluar dari pakemnya
Siapa sangka ternyata menurut wujud asli joged bumbung ternyata tidak seperti yang ada saat ini. Pasalnya tarian asli khas Bali itu sejatinya malah menjunjung tinggi etika dan estetika yang ada. Bisa dibilang kalau joged bumbung erotis yang viral di dunia maya itu, sudah keluar dari pakem yang ada.
Memang benar kadang penari, mengajak penonton untuk berjoged bersama ke depan, hanya sekedar menggoda saja tanpa melakukan gerakan erotis. Para penari itu sendiri juga mesti menjaga diri agar tidak kelewatan saat joged bersama penonton. Namun sayang beberapa oknum melakukan inovasi secara kebablasan, alhasil joged bumbung malah mendapat citra negatif karena hal tersebut.
Sejarah joged bumbung yang sangat jauh dari kesan erotis
Siapa sangka menurut sejarahnya sendiri sama sekali tidak ada kesan erotis yang ada di dalamnya. Ya, joged bumbung diawali sebuah tradisi di daerah Buleleng hingga menyebar ke daerah lainnya di Bali. Awalnya joged ini dimainkan oleh sekelompok petani yang melepas penat, mereka memainkan musik dan tarian sederhana.
Namun siapa sangka dari hiburan simple itu benar-benar menjadi sebuah refershing buat mereka hingga akhirnya dilakukan terus menerus dan menjadi tradisi. Joged bumbung dulu juga hanya berlenggok ke kanan –kiri, sekarang diimprovisasi kelewatan hingga seperti saat ini.
Joged bumbung sendiri di Bali sudah dilarang, namun masih banyak yang mempraktekkan
Lantaran praktek joged bumbung erotis yang sangat memprihatinkan, pemerintah di sana sempat mengeluarkan larang mengenai pementasan tarian ini. Ya, selain sudah sangat jauh keluar dari pakem, adanya tari erotis ini juga bisa mencemarkan nama baik pulau dewata. Namun sayang secara diam-diam masih banyak yang menggelar joged “panas” seperti saat kejadian penggalian dana trail advanture beberapa waktu yang lalu.
Di lain sisi, praktek joged bumbung yang sesuai dengan pakem tetap boleh diadakan bahkan malah didukung, tentu juga ada pengawasan. Selain buat menunjukkan wujud tradisi asli itu, juga memperbaiki citra buruk dari joged bumbung yang selama ini tercoreng.
Jika dilihat dari sejarahnya, memang joged bumbung bukanlah sebuah tarian erotis seperti yang saat ini sering ditemui. Sejatinya hal ini menjadi tanggung jawab kita bersama agar jangan sampai nama tradisi ini jadi tercoreng. Caranya dengan mencintai budaya Indonesia agar tahu pakem-pakem asli dari joged ini.