Marsinah merupakan simbol perjuangan buruh Indonesia yang sampai saat ini akan selalu diingat. Sosok marsinah juga adalah aktivis pada Zaman Pemerintahan Orde Baru. Sosok perempuan tangguh yang tak mengenal takut ini bernama lengkap Marsinah, yang merupakan kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, 10 April 1969.
Marsinah sendiri adalah buruh di pabrik PT Catur Putra Surya yang terletak di Sidoarjo, Jawa Timur. Sebenarnya Marsinah sama halnya dengan buruh lainnya, namun yang istimewa darinya adalah dirinya merupakan salah satu pekerja yang memimpin gerakan perjuangan.
Kematian Marsinah hingga kini masih diperingati setiap tanggal 1 Mei. Lantas, bagaimana kronologi kasus kematian Marsinah?
Kronologi Kematian Marsinah
Pada tanggal 3-4 Mei 1993 Marsinah dan rekan-rekannya menggelar aksi mogok di pabriknya. Hal ini mereka lakukan untuk melakukan 12 tuntutan, salah satunya adalah kenaikan upah dengan keputusan Menteri Tenaga Kerja No.50 tahun 1992 dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 sehari. Serta perhitungan upah lembur dan pembayaran cuti hamil.
Usai tuntutan yang diajukan oleh buruh ini terjadilah perdebatan yang alot, hingga akhirnya tuntutan tentang kenaikan upah disepakati. Bahkan, pihak perusahaan menjanjikan membahas hak-hak buruh lainnya, seperti upah lembur, uang transportasi, cuti haid, dan cuti hamil.
Kemudian, setelah terjadinya perundingan 13 orang buruh yang dianggap sebagai dalang dari unjuk rasa yang terjadi dipanggil untuk menghadap Pasi Intel Kodim 0816 Sidoarjo, pada 5 Mei 1993, mereka yang mendapatkan panggilan ini dipaksa untuk mengundurkan diri.
Tak hanya dipaksa mengundurkan diri, mereka juga mendapatkan intimidasi untuk menandatangani surat pengunduran diri bersegel yang telah dipersiapkan oleh petugas Kodim. Hal ini tentunya membuat Marsinah kaget atas pemanggilan tersebut, meskipun namanya tak ada dalam daftar nama buruh yang dipanggil.
Setelahnya saat malam hari, Marsinah meminta lembaran bekas surat panggilan Kodim Sidoarjo milik salah satu temannya. Surat itu kemudian dikumpulkannya dan dijadikan satu dengan lembaran surat protes untuk perusahaan.
Usai bertemu temannya Marsinah keluar dari rumahnya untuk membicarakan soal protes yang akan dilayangkan keesokan harinya dengan sesama rekan buruhnya. Selain itum dia juga berniat untuk membeli makanan.
Marsinah sempat bertemu dengan dua temannya, yaitu Asiyem dan Joko. Mereka pun sempat berbincang dan kemudian berpisah, karena Marsinah hendak membeli makanan. Dua temannya masih sempat melihat Marsinah melenggang pergi sambil menggenggam surat panggilan dari Kodim Sidoarjo milik salah seorang temannya.
Itulah hari terakhir sosok Marsinah terlihat masih hidup dan sejak saat itu buruh pemberani tersebut sudah tak bisa ditemui lagi.
Mayat Marsinah
Sejak tiga hari kehilangannya, pada 8 Mei 1993 mayat Marsinah ditemukan disebuah gubuh di pinggiran hutan jati Wilangan, desa Jegong, Wilangan, Nganjuk. Lokasi penemuan mayat Marsinah sekitar 200 km dari PT CPS.
Pada mayat Marsinah ditemukan sejumlah luka-luka bekas penyiksaan. Dalam tubuhnya terdapat luka robek yang tak beraturan sepanjang 3 cm mulai dari dinding kiri lubang kemaluan (Labium minora) sampai sedalam rongga perut. Tak hanya itu tulang panggul miliknya juga hancur, disela paha terdapat bercak darah.
Penemuan mayat Marsinah ini mengejutkan banyak pihak. Seketika pula, kematian yang dialami Marsinah tak lagi dianggap sebagai pembunuhan yang biasa. Kasus pembunuhan Marsinah kemudian menjadi sorotan publik Tanah Air yang bermuara pada desakkan aparat keamanan untuk membong
Tindak Lanjut Kasus Marsinah
Aparat militer menangkap dua satpam dan tujuh pimpinan CPS tanpa adanya surat penangkapan. Penangkapan mereka dibumbui dengan adanya tindakan kekerasan dan semuanya diseret paksa. Satpam dan pihak manajemen PT CPS itu disekap selama 19 hari di Kodam V Brawijaya.
Mereka disiksa untuk mengakui bahwa mereka telah merencanakan pembunuhan Marsinah. Akibat dari penyiksaan yang dilakukan tersebut, Mutiara (27) harus mengalami keguguran bayi yang sudah dikandungnya selama tiga bulan. Mutiara merupakan ketua bagian personalia dan satu-satunya perempuan dalam penyekapan di Kodam V Brawijaya.
Pada 21 Oktober 1993, aparat Kodam V Brawijaya menyerahkan mereka pada Polda Jatim. Di Polda Jatim mereka masih mendapatakan siksaan fisik dan juga verbal, walaupun dengan intensitas yang lebih rendah.
Proses persidangan para tersangka penuh dengan kejanggalan, tetapi tidak membuat mereka terbebas dari dakwaan. Mereka divonis bersalah dan dijatuhi hukuman, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjawa. Sedangkan Mutiara 7 bulan dan sejumlah staf berkisaran 4-12 tahun. Kemudian Yudi Susanto mengajukan permohinan kasasi ke MA, permohonan ini diajukan juga oleh delapan terdakwa lainnya.
Setelah dijatuhi vonis, seorang dokter dari Instalasi Kedokteran Kehakiman (IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, bernama Abdul Mun’im Idries, beliau turut ambil bagian sebagai saksi ahli.
Dalam persidangan tersebut beliau memaparkan kejanggalan apa saja yang terjadi. Dimulai dari kejanggalan barang bukti, kesaksian, hingga hasil visum.
Kemudian setelah hampir 2 tahun, yaitu pada 2 Mei 1995 Mahkamah Agung (MA) memvonis bahwa Sembilan terdakwa ini terbukti tak melakukan perencanaan dan membunuh Marsinah.
Kasus pembunuhan yang terjadi pada Marsinah hingga kini tak pernah diketahui pelakunya. Penemuan jasad Marsinah di hutan Jati Wilangan akan tetap menjadi misteri hingga saat ini.