Kehidupan Dan Tradisi Suku Da’a Masih Ada Hingga Di Kini

Suku Da’a atau dalam bahasa kaili To Da’a merupakan suku nomaden yang mendiami perbatasan sulawesi tengah dan sulawesi barat. Mereka bermukim di kawasan hutan dan pegunungan, terutama di gunung gawalise dan di tepi jalan Pue Lembo, Kelurahan Buluri, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Suku ini merupakan salah satu kelompok suku kaili. Masyarakat suku Da’a diidentifikasi memiliki ciri fisik dan kebudayaan non-austronesia. Hal ini dengan kuat mengindikasikan bahwa pulau sulawesi telah dihuni manusia modern jauh sebelum kedatangan. Bangsa  ke pulau Sulawesi sekitar 5.000 tahun lalu. Jika dilihat dari bentuk wajah, sebagian masyarakat suku Da’a menyerupai menyerupai orang papua, yang termasuk kelompok awal migrasi dari benua afrika Mereka tiba di nusantara sekitar 50.000 tahun silam. Kemungkinan besar, masyarakat Da’a ini memang kelompok Austro-Melanesoid dengan ciri pygmy (berbadan pendek), rambut keriting, dan kulit cenderung gelap.

Kehidupan masyarakat Da’a

Makanan pokok masyarakat Da’a di dataran rendah adalah padi, yang ditanam di ladang yang dibuka di hutan lereng pegunungan. Mereka menyebut padi dengan sebutan nyi’i, sedangkan beras disebut ose, yang di dalam bahasa Kaili padi disebut pae. Siklus tanam padi ladang adalah satu tahun satu kali panen. Pada saat menunggu panen padi, jika masyarakat Da’a kekurangan makanan, mereka juga mencari sagu, kasubi (ubi kayu), toku (ubi kayu) talas, dan loka (pisang) Biasanya sagu didapat dari lembah-lembah sungai yang lembab, sedangkan ubi kayu, ubi jalar, dan talas ditanam di sekitar ladang padi. Pada saat panen padi, mereka mengadakan upacara syukuran yang disebut dengan istilah vunja. Mereka memanen padi dengan menggunakan alat ketam (ani-ani). Setelah itu padi diikat dan dijemur dalam pada para-para yang terbuat dari bambu.

READ  Kalosara Dalam Proses Perkawinan Di Suku Tolaki Sulawesi Tenggara

Masyarakat Da’a beternak manu (ayam). vavu (babi) untuk dikonsumsi, dan memelihara asu (anjing) untuk kegiatan berburu. Berbeda dengan komunitas masyarakat Kaili pada umumnya, mereka tidak mengenal ternak kerbau Dalam masyarakat Da’a binatang yang paling berharga adalah babi, yang digunakan untuk maskawin dalam upacara perkawinan. Masyarakat Da’a juga melakukan perburuan di hutan, khususnya berburu anoa, babi hutuan dan burung. Senjata yang digunakan untuk berburu adalah sopu (sumpit), parang, tombak dari bambu runcing, tombak dengan batu yang diikat tali (harpoon).

Bahasa yang mereka gunakan adalah  bahasa Da’a. Bahasa Da’a memiliki keterkaitan dengan bahasa lain yang terdapat di Sulawesi Tengah, yang banyak memiliki kemiripan dengan bahasa dari suku Kaili yakni bahasa Kaili.

Rumah asli suku Da’a pada saat ini adalah rumah panggung tinggi yang disebut sou langa atau rumah tinggi. Rumah panggung ini dibangun di atas tiang-tiang bambu yang tingginya sekitar 4–15 m di atas permukaan tanah. Dahulu rumah mereka dibangun di atas sebuah pohon (rumah pohon) kayu keras yang batang utamanya lurus dengan banyak cabang yang mendatar, seperti pohon ketapang yang memiliki ketinggian 7-20m. Lantainya terbuat dari anyaman bambu, dindingnya terbuat dari papan, sedangkan atapnya terbuat dari anyaman daun kelapa. Kadang-kadang di sekitar tangga masuk terdapat sebuah teras kecil. Rumah biasanya dibagi dua, bagian depan berfungsi sebagai ruang untuk menerima tamu dan ruang tidur orang tua, sedangkan rumah bagian belakang biasanya berfungsi sebagai dapur dan ruang tidur anak-anak. Untuk membangun atau menyelesaikan rumah tinggi tersebut, biasanya membutuhkan waktu sekitar tujuh hari, yang dapat dilakukan oleh satu orang saja.

READ  Kepercayaan Burung Manguni Bagi Leluhur Minahasa Menjadi Simbol Kehidupan

Untuk menentukan hari membangun rumah yang tepat dilihat dari arah bulan, tiang penyangga dan rumah tidak boleh membelakangi matahari karena sang surya merupakan sumber kehidupan bagi suku ini. Jumlah anak tangga pun harus ganjil, Suku Kaili Da’a meyakini bahwa Tuhan suka dengan angka ganjil. Maka rumah berbahan dari alam sepenuhnya dengan luas 2×2 meter ini akan diberkati. Rumah pohon yang bisa bertahan hingga 1 tahun ini berukuran sangat kecil, namun tujuannya untuk tidur saja karena mereka memang tinggal berpindah-pindah untuk menggarap ladang.

Tradisi adat dan kepercayaan suku adat Da’a

Pakaian masyarakat etnik Da’a dahulu terbuat dari kulit kayu yang diambil dari pohon yang berwarna putih atau disebut malo. Kulit kayu yang akan dibuat bahan pakaian dipukul dengan batu pukul yang disebut batu ike. Pemukul kulit kayu terbuat dari batu lempung yang dibakar dan diambil dari lokasi khusus (singkapan batuan) di daerah pegunungan. Berbeda dengan komunitas Kaili lainnya, masyarakat Da’a tidak mengenal tradisi tenun dan manik-manik.

Dahulu masyarakat suku Da’a mengikuti ajaran animisme yakni mempercayai adanya roh-roh. prosesi penguburan anggota keluarganya yang meninggal dilakukan di dalam hutan. Mayat dikuburkan dalam peti kayu lengkap dengan pakaiannya. Karena sifat huniannya yang tidak-permanen, maka tidak ada bekas pemakaman masyarakat Da’a dari zaman kuno. Dalam tradisi mereka, apabila ada warganya yang meninggal dunia, mereka akan pindah dari kampung tersebut agar terhindar dari gangguan roh orang yang meninggal tersebut.

Suku Da’a mulai dimukimkan oleh Dinas Sosial di daerah dataran sekitar tahun 1986 permukiman di perkampungan permanen ini dilakukan dengan alasan untuk mengurangi aktivitas pertanian berpindah yang berpotensi mengurangi luasan hutan lindung. Pada tahun itu pula mereka mulai menganut agama yang diakui oleh pemerintah indonesia. Suku Da’a yang berada di sulawesi barat. mayoritas beragama kristen protestan sedangkan masyarakat Da’a yang berada di sulawesi tengah mayoritas beragam islam.

READ  Sebutan Pamali "Bengga Bula" Dari Kisah Randa Ntovea Di Tanah Kaili

Upacara Mumpakoni sebagai satu upacara wajib sebelum pembangunan rumah pohon suku Kaili Da’a. Meskipun sudah mengenal agama, unsur animisme ini masih kental di kalangan suku ini. Ada sesajen yang harus disiapkan sebelum upacara. Yakni terdapat kapur sirih, pinang, telur rebus, sirih, dan gambir. Sesajen ini melambangkan beragam hal tentang kehidupan dan hati. Pada proses pembuatan rumah pohon, biasanya dilakukan beramai-ramai dan dilakukan pada hari tertentu yang dipercaya membawa berkah.

selalu di perbincangkan di seluruh dunia, dimana budaya adalah suatu kebiasaan atau cara hidup yang terus berkembang yang dimiliki oleh satu atau beberapa kelompok orang, yang kemudian terus di wariskan dari generasi ke generasi. Berdasarkan hasil dari penelitian bahwa budaya terbentuk sehingga terdapat banyak unsur yang sangat jelas yang termasuk, Sistem politik, agama, bahasa, adat istiadat, pakaian, perkakas, bangunan, dan karya seni. Indonesia. Indonesia adalah sala satu bangsa yang memiliki ragam budaya yang sangat luas, bahkan hampir seluruh daerah indonesia memiliki budaya yang berbeda-bedah dan memiliki ciri khas masing -masing, yang dimana ciri khas ini telah menjadi suatu budaya yang terus bergenerasi sehingga turun-temurun akan terus berkembang.