Pertunjukan kuda lumping selama ini identik dengan kultur masyarakat di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Namanya pun bermacam-macam, mulai dari jaranan, jathilan, turonggo hingga reog. Namun kesenian tersebut rupanya juga cukup melekat bagi masyarakat Sunda di Kabupaten Pangandaran.
Bagi warga di pesisir selatan Jawa Barat itu, kesenian kuda lumping memiliki kekhasan tersendiri dengan irama rampak kendang Jaipong sebagai pengiring. Namun secara visual, tampilan para pemainnya lekat dengan kultur Jawa. Kesenian yang termasuk lawas itu dikenal dengan nama Ebeg.
kesenian ini akan menampilkan perpaduan yang harmonis antara alunan musik rampak gamelan, dengan gerakan dari para pemainnya. Biasanya para pemain akan mengalami kehilangan kesadaran dan seolah dikendalikan oleh roh halus (kesurupan). Hingga saat ini kesenian unik tersebut masih terus dipertahankan, dan kerap ditampilkan saat waktu-waktu tertentu. Berikut selengkapnya.
Kental Nuansa Jawa
Tak diketahui secara pasti kapan kesenian Ebeg muncul. Namun masyarakat Pangandaran yang memang berdekatan dengan Provinsi Jawa Tengah secara geografis, menjadikan kesenian ini akrab hingga berakulturasi budaya.
Ebeg sendiri mengacu pada alat peraga permainan yang menyerupai kuda, dan terbuat dari kayu serta anyaman bambu. Dalam kesenian Ebeg terlihat kehidupan sosial antara suku Jawa dan Sunda di Pangandaran terjalin dengan baik. Hasilnya pun menarik, karena kesenian Ebeg banyak disukai oleh masyarakat di pesisir Jawa Barat itu.
Digunakannya blangkon, dengan beberapa ornamen pakaian corak batik semakin menandakan kentalnya nuansa Jawa di kesenian Ebeg. Sebelumnya, Ebeg merupakan warisan leluhur yang dekat dengan masyarakat Jawa Tengah sisi barat karesidenan Banyumas seperti Cilacap, Brebes dan sekitarnya.
Jadi Media Dakwah
beberapa pelaku kesenian Ebeg, sang sinden akan menyanyikan syair berlanggam Jawa. Hal ini sesuai dengan asal kesenian ini berasal yakni daerah Banyumas. Menariknya, syair yang dilantunkan akan terlihat nuansa Islami yang kental dengan pada saat lampau tujuan kesenian ini adalah sebagai media dakwah kepada masyarakat. lirik-lirik kawih yang dibawakan berisikan imbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat kepada Sang Pencipta.
Sifat dari para tokoh dalam kesenian ini juga merupakan penggambaran dari berbagai macam sifat yang ada di dalam diri manusia, di mana ada sisi baik maupun sisi buruknya. Semuanya akan berpadu harmonis dengan bebunyian dari alat musik tradisional seperti Gong, Saron, Kenong, Demung, Bass, Simbal.