Ratusan tahun lalu, masyarakat Minahasa punya cara tersendiri untuk memakamkan orang yang meninggal. Mereka membuat kubur batu di permukaan atas tanah yang disebut waruga. Kubur batu tersebut berbentuk balok yang berongga di tengahnya. Bagian atasnya ditutup dengan batu yang dibentuk seperti atap rumah adat mereka, walewangko. Sudah lama, budaya ini tak lagi diteruskan. Tapi kita masih bisa menemui jejaknya.
Desa Pineleng II kecamatan Pineleng banyak menyimpan asset budaya Minahasa berupa kubur batu yang biasa di sebut sebagai waruga. Keberadaan kubur tua orang Minahasa ada di beberapa daerah juga seperti di daerah Desa Sawangan Minahasa Utara dan beberapa daerah lain seperti Woloan (Tomohon), Tondano (Minahasa), Kawangkoan (Minahasa) serta Tompaso (Minahasa).
Mengenal Waruga ‘Wanua Ure’
Nama lokasi yang dimaksud adalah Waruga ‘Wanua Ure’. Wanua Ure dalam bahasa Indonesia berarti kampung tua. Tak hanya sekedar sebagai situs budaya, Wanua Ure juga punya keunikan tersendiri, dimana penataan waruga berbentuk bujur sangkar dengan jumlah di masing-masing sisi 4 waruga.
Selain itu di bagian belakang lokasi waruga terdapat batu-batu yang juga posisinya berbentuk bujur sangkar dengan jumlah di masing-masing sisi 9 batu. Di bagian tengah ada batu berbentuk pipih dan runcing yang tertancap ke tanah. Itu adalah Watu Tumotowa yang digunakan para leluhur orang Minahasa untuk mendirikan sebuah kampung.
Menurut cerita dari turun temurun warga lokal, batu-batu itu adalah tempat para leluhur atau tonaas orang Minahasa melakukan pertemuan. Dalam pertemuan tersebut sudah termasuk persiapan atau meramu strategi sebelum melakukan perang terhadap musuh yang mencoba menguasai tanah Minahasa.
Kemudian di bagian depan ada waruga dengan penutup bermotifkan ular. Jumlah ular yang terukir ada sembilan. Konon ceritanya waruga tersebut milik dari seorang Tonaas Perang yang sangat disegani. Menurut cerita dari penjaga yang sudah empat tahun menjaga kawasan Waruga Wanue Ure tersebut, bahwa dahulunya 16 waruga yang ada saat itu tersebar atau terpencar. Atas seijin leluhur, pada tahun 2010-2011 dilakukan pemugaran melalui prosesi upacara adat yang disebut Mera Waruga atau pindah waruga.
Penjaga tersebut menambahkan bahwa lahan yang digunakan untuk merawat dan melstarikan aset budaya Minahasa itu merupakan milik keluarga turun temurun. Akan tetapi jika Pemkab Minahasa berencana untuk mengambil alih hak kepemilikan, dirinya atas nama keluarga yang ada bersedia untuk melakukan pembicaraan. Soal imbalan ganti rugi, Kepala Jaga 8 Desa Pineleng II ini mengatakan bahwa itu bisa dilakukan pada batas kewajaran atau tidak lebih dan tidak kurang
Orang Minahasa sudah tidak lagi membuat waruga sejak pemerintah Belanda melarang penguburan jasad dengan cara itu. Sebab, jasad yang disimpan dalam peti itu kemudian membusuk dan menyebabkan penyakit kolera menyebar di Minahasa. Ingat, kubur batu tersebut berada di atas permukaan tanah.
Belanda kemudian mengumpulkan sebagian waruga milik masyarakat di satu areal, sebagian lagi masih dapat kita temukan di rumah-rumah peduduk pedesaan. Sampai sekarang, makam leluhur ini masih dihormati oleh sebagian warga Minahasa.