Rahina Tilem dilaksanakan oleh umat Hindu khususnya di Bali setiap 30 haris sekali. Tilem ini terjadi silih berganti dengan purnama setiap 15 hari sekali. Tilem ini dirayakan pada panglong ke-15. Panglong ini juga disebut dengan kresnapaksa. Saat terjadinya tilem juga akan terjadi air pasang laut.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan; mwang tka ning tilem, wenang mupuga lara roga wighna ring sarira, turakna wangi-wangi ring sanggar parhyangan, mwang ring luhur ing aturu, pujakna ring sanggar parhyangan, mwang ring luhur ing aturu, pujakna ring widyadari widyadara, sabhagyan pwa yanana wehana sasayut widyadari 1, minta nugraha ri kawyajnana ning saraja karya, ngastriyana ring pantaraning ratri, yoga meneng, phalanya lukat papa pataka letuh ning sarira.
Petikan ini memiliki arti ketika tilem, umat Hindu wajib untuk menghilangkan segala bentuk dosa, noda, dan kekotoran dalam diri. Adapun sarananya yakni mempersembahkan wangi-wangian di sanggah atau di parahyangan, dan di atas tempat tidur, yang dipersembahkan kepada bidadari dan bidadara. Akan lebih baik jika mempersembahkan 1 buah sesayut widyadari untuk memohon anugerah agar terampil dalam melaksanakan segala aktivitas. Pemujaan dilakukan tengah malam dengan melakukan yoga, atau hening. Pahalanya adalah segala noda dan dosa yang ada dalam diri teruwat.
Tinjauan dari Segi Filsafat, Etika dan Upacara yang dimuat dalam Majalah Widyasrama (Majalah Ilmiah Universitas Dwijendra Denpasar, Agustus 2013) mengatakan apabila ingin melakukan suatu upacara-upacara yang sifatnya penyucian kembali alam semesta dilakukan saat tilem. Upacara tersebut bersifat Bhuta Yadnya seperti tawur agung.
Tilem merupakan saat yang tepat untuk melakukan yoga dan samadi. Tilem kapitu atau tilem kesanga memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pandangan filosofis agama Hindu. Saat tilem kepitu dipandang sebagai tilem yang paling gelap dan merupakan payogan Bhatara Siwa dan hal ini erat kaitannya dengan kisah Lubdaka dalam Siwaratrikalpa. Sedangkan saat tilem kesanga dilaksanakan tawur kesanga sebelum pelaksanaan Nyepi pada keesokan harinya.
Seseorang yang melakukan perbuatan baik pada saat tilem, maka perbuatannya akan mendapatkan pahala yang berlipat-lipat. Saat tilem umat Hindu juga dilarang melakukan yang dilarang agama seperti melakukan hubungan suami istri atau sanggama. Bila ketentuan tersebut dilanggar maka akan dapat berkibat buruk pada watak dan tabiat anak yang akan lahir dan hubungan badan tersebut.
IBM Dharma Palguna dalam bukunya Sekarura menuliskan,” kepada para Guru Kehidupan (dan Guru Kematian) mengajarkan agar menghormati gelap, tidak kurang dari hormat pada terang. Hormat pada gelapnya bulan mati (tilem) tidak kurang dari hormat kita pada terang bulan purnama”.
Selain itu dituliskan pula pembelaan Mpu Tan Akung kepada gelap yaitu gelap tidak harus dihindari atau diusir dengan mengadakan terang buatan, namun dengan memasukinya, menyusupinya, meleburkan diri di dalamnya, atau memasukkannya ke dalam diri. pemujaan kepada gelap atau Tilem itu jelas sekali ditujukan kepada Siwa. Dalam Jnyana Sidantha disebutkan di dalam matahari ada suci, di dalam suci ada siwa, di dalam siwa ada gelap yang paling gelap. Hal itulah yang menyebabkan tilem mendapatkan pemuliaan.
Selain itu, di daerah Bangli ada Pura Penileman, dimana setiap Tilem dilakukan pemujaan di sana. Pura Penileman dilakukan pemujaan kepada Siwa, karena ada warga masyarakat yang nunas pengidep pati atau sarining taksu. Sehingga jelas sudah (pemujaan) Siwa. Bukti arkeologisnya juga ada arca Dewa Gana yang merupakan putra Siwa. Sehingga saat tilem sudah sepatutnya umat Hindu melakukan yoga samadi untuk meleburkan segala dosa dan kekotoran