Pawai ogoh-ogoh hampir bisa kita temukan di seluruh pelosok desa dan kota dalam rangkaian upacara Ngerupuk (Pengrupukan) yang dilaksanakan sehari sebelum Hari Raya Nyepi. Pawai ogoh-ogoh tersebut tentunya tidak asing lagi bagi penduduk lokal, tetapi akan cukup spesial bagi wisatawan yang sedang liburan di pulau Dewata Bali, bisa menyaksikan budaya dan tradisi unik masyarakat Bali dari dekat. menyaksikan keindahan objek wisata di pulau Dewata Bali, kini bisa menikmati dari dekat tampilan budaya dan tradisi dalam balutan kreasi seni yang menarik, sehingga pengalaman wisata anda tersebut layak untuk dikenang.
Mengenal Pawai Ogoh-Ogoh
Pawai ogoh-ogoh di Bali adalah sebuah rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi, memang sebelum menyambut kedatangan tahun baru saka yang dirayakan dengan Catur Berata Penyepian ada beberapa rangkaian upacara atau ritual keagamaan yang dilaksanakan oleh umat Hindu, seperti 3-4 hari sebelum Nyepi digelar upacara Melasti di Bali.
Tujuan upacara Melasti menghilangkan segala penderitaan manusia, menghanyutkan segala kotoran alam dan mengambil sari-sari kehidupan, kemudian sehari menjelang Hari Raya Nyepi dikenal dengan Hari Raya Ngerupuk atau Pengrupukan, memberikan sesajen kepada Bhuta Kala kemudian mengusirnya untuk kembali ke tempatnya masing-masing yang disimbolkan dalam bentuk ogoh-ogoh kemudian di arak keliling desa.
perlu sedikit dijelaskan ogoh-ogoh tersebut adalah sebuah boneka atau patung yang berbentuk beraneka rupa mewakili bentuk mitologis iblis jahat dan simbolis dari unsur-unsur negatif seperti sifat buruk dan kejahatan yang realitanya mengelilingi kehidupan manusia. Ogoh-ogoh selain untuk melengkapi rangkaian upacara keagamaan di Bali, juga merupakan sebuah warisan budaya dan tradisi unik yang berkembang baik sampai saat ini.
Boneka atau patung tersebut biasanya dibuat berukuran besar atau tubuh raksasa tampil menyeramkan, bahkan bisa berwujud manusia yang mewakili mental kotor atau buruk, wujud binatang dan penghuni neraka, semua dibuat dengan kreasi seni biasanya oleh para pemuda dan anak-anak dalam sebuah desa ataupun banjar yang tergabung dalam Sekee Teruna-Teruni (organisasi pemuda-pemudi di Bali).
Ogoh-ogoh sendiri sebagai simbol wujud Bhuta Kala yang menyeramkan atau sifat yang menggambarkan bhuta kala seperti wujud seorang koruptor, teroris dan penjahat. Bahan pembuatan ogoh-ogoh tersebut dari anyaman bambu, kemudian dilapisi dengan kertas-kertas bekas seperti koran, kemudian diwarnai dan dilengkapi dengan berbagai hiasan, proses pembuatannya sendiri bisa memakan waktu lama bisa berminggu-minggu bahkan bulanan, sesuai tingkat kerumitan yang ditampilkan.
Seiring waktu patung ogoh-ogoh tersebut dibuat dengan bahan dasar styrofoam, sehingga lebih mudah untuk membentuknya dan bisa menghasilkan bidang lebih halus, namun dalam lomba saat pawai ogoh-ogoh panitia biasanya memberi syarat khusus agar pembuatan ogoh-ogoh tersebut agar menggunakan bahan ramah lingkungan sehingga bahan styrofoam tidak diperbolehkan. Sebelum ogoh-ogoh tersebut diarak keliling terlebih dahulu diadakan ritual khusus.
Pawai Ogoh-Ogoh Di Bali Saat Ngerupuk
Dalam rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi yang terlebih dahulu dilaksanakan prosesi Melasti (Melis), kemudian sehari sebelum Nyepi ini dikenal dengan Hari Ngerupuk (Pengrupukan), pada hari inilah pawai ogoh-ogoh tersebut digelar, tepatnya pada petang hari atau sekitar pukul 18.00 wita tergantung pada kebijakan desa masing-masing. Pada saat hari tersebut digelar arak-arakan ataupun pawai ogoh-ogoh yang beraneka macam rupa diiringi oleh gamelan baleganjur yang membuat suasana semarak dan mengesankan.
Selain untuk ritual juga sebagai hiburan, di Bali momen ini biasanya sangat ditunggu oleh kaum muda untuk bisa mengekspresikan jiwa seninya, serta para kaum dewasa, anak-anak dan bahkan wisatawan antusias untuk menyaksikan momen tersebut. Suguhan budaya di pula Dewata Bali ini menjadi hiburan wisata juga bagi para pelancong, termasuk juga bagi warga lokal dan juga warga pendatang.
Dilakukan dua tahapan upacara pada saat hari Ngerupuk (Ngesanga) ini, yang pertama adalah Mecaru yang merupakan persembahan beraneka sesajian dalam bentuk banten caru kepada bhuta kala, mulai di rumah masing-masing, banjar dan juga desa setempat, pada sebuah desa dan kota biasanya dilakukan pada sebuah perempatan jalan utama.
Tujuan dari Mecaru ini adalah untuk memberikan persembahan kepada Sang Bhuta agar para Bhuta Kala tersebut tidak mengganggu kegiatan manusia saat akan melaksanakan catur Brata Penyepian. Kemudian setelah ritual Mecaru tersebut selesai, maka pada sore harinya barulah dilakukan upacara Ngerupuk dibarengi pawai ogoh-ogoh.
Pada saat Ngerupuk (pengrupukan) dilakukan penebaran nasi tawur serta membawa obor keliling desa oleh para warga yang didominasi oleh para remaja, pada saat ini jugalah arak-arakan Ogoh-ogoh tersebut digelar. Seperti yang sudah dijelaskan ogoh-ogoh tersebut adalah simbol perwujuan bhuta kala, setelah diberikan persembahan (makan) para bhuta kala diarak keliling agar kembali ke tempatnya, karena setelah kenyang mendapatkan persembahan, bhuta kala diharapkan kembali ke alamnya, sehingga dunia menjadi damai tidak dipengaruhi hal-hal negatif yang biasanya dilakukan oleh Sang Bhuta.
Setelah selesai prosesi pawai atau arak-arakan ogoh-ogoh di Bali, boneka atau patung tersebut akan dibakar, biasanya dilakukan di kuburan setempat, tetapi di beberapa tempat terkadang sengaja dibiarkan beberapa hari, mungkin masih cukup sayang jika hasil kreatifitas seninya untuk dibuang atau dibakar begitu saja.
Untuk menghindari gesekan dalam pawai ogoh-ogoh di Bali, apalagi peserta arak-arakan didominasi oleh para remaja yang memiliki tingkat emosional tinggi, pemerintah dan desa setempat biasanya memberlakukan kebijakan dan aturan ketat, seperti rute-rute yang sudah ditentukan, arak-arakan sesuai nomer urut dan juga menentukan titik keramaian tempat ogoh-ogoh tersebut beratraksi serta melibatkan aparat polisi dan juga pecalang (polisi adat).
Pecalang sebagai perangkat adat dalam sebuah desa atau Banjar adat di pulau Dewata Bali, sangat dihormasti dan disegani, sehingga prosesi yang melibatkan orang banyak tersebut bisa berjalan baik. Pawai ogoh-ogoh di Bali ini bisa melengkapi ajang tahunan yang menjadi daya tarik warga, penduduk pendatang dan juga wisatawan. Pawai ogoh-ogoh sudah menjadi budaya dan tradisi umat Hindu Bali dan layak kita jaga dan lestarikan.