Memang sudah tak diragukan lagi jika membicarakan keindahan alam dari Bumi Anoa Namun mencoba melempar jangkar di salah satu sudut Bumi Anoa, terdapat Pulau Siompu yang tak hanya air lautnya yang berwarna biru melainkan juga orang-orang yang bermata unik di dalamnya.
Berada di Kabupaten Buton, Bau-Bau, Bumi Anoa – Sulawesi Tenggara, Pulau Siompu memiliki luas sekitar 60 kilometer persegi dan dikelilingi oleh air laut yang masih jernih dengan warna hijau kebiruan. Bagi pecinta keindahan bawah laut, pulau ini tentunya menjadi surga dunia yang wajib didatangi.
Secara administratif Pulau Siompu dibagi menjadi dua kecamatan yakni Siompu Barat dan Siompu Timur. Di sinilah salah satu rahasia yang tersembunyi di Bumi Anoa dapat ditemui, tepatnya di Desa Kaimbulawa, Kecamatan Siompu Timur. Di desa tersebut, terdapat sekelompok orang yang memiliki mata berwarna biru.
La Yusrie, adalah peneliti bahasa dan etnik yang berusaha mengenalkan kelompok warga bermata biru itu kepada khalayak luas. Di tahun 2006 Ia tak sengaja bertemu anak perempuan yang memiliki mata berwarna biru saat melakukan riset bahasa di pasar. Ketertarikan pada manusia bermata biru itu muncul dan membuatnya ingin mencari tahu lebih dalam.
Pada tahun 2017 La Yusrie tertarik kembali ke Siompu untuk melakukan riset dan inventarisasi benteng-benteng yang tersebar di pulau tersebut. Dalam perjalanannya melakukan riset, La Yusrie bertemu dengan warga Siompu yang kemudian mempertemukannya dengan La Dala dan Ariska Dala.
Dalam pertemuan dengan La Yusrie, La Dala Si Pemilik Mata Biru bercerita bahwa pada abad 15 akhir para penjajah Portugis mampir ke Siompu dan mempersunting seorang gadis bangsawan. Untuk memastikan kebenarannya, La Yusrie juga melakukan identifikasi nasab sejarah dan menemukan fakta bahwa gadis bangsawan tersebut bernama Waindawula. Waindawula merupakan anak salah satu sultan di Kesultanan Buton.
Sedangkan orang Portugis yang mempersunting Waindawula, tidak diketahui nama aslinya. Namun masyarakat pulau kecil itu menyebutnya “La Dala” yang memiliki arti seorang (laki-laki) pengelana. Nama tersebut juga dipakai oleh ayah Ariska Dala saat ini.
Pada kisaran tahun 1613 Masehi saat terjadi persaingan antara Belanda dan Portugis, terdapat aturan yang dibuat oleh perjanjian antara Belanda dengan Sultan Buton bahwa bangsa Portugis beserta keturunannya tidak boleh mendiami tanah Buton.
Semenjak itulah, ras keluarga La Dala tak bisa ditemui di tengah masyarakat, disertai stigma negatif yang mereka dapat. “Mereka mendapatkan stigma jelek, sebagai orang yang dikutuk Tuhan. Orang ini tersisih jadi marginal. Mereka tidak tinggal di desa, tetapi mereka lebih banyak tinggal di kebun,” tutur La Yusrie.
Datangnya La Yusrie menjadi angin segar bagi ras keluarga La Dala, sebab La Yusrie mengenalkan mereka ke hadapan umum. Saat ini mereka sudah bisa berbaur lagi di tengah masyarakat dan stigma yang melekat ratusan tahun kemudian sudah tidak dianggap.
“Sekarang mereka sudah mulai paham dan berbaur dengan masyarakat. Setelah viral waktu itu bahkan keluarga yang tidak menganggap kembali merangkul. Stigma yang ratusan tahun itu kemudian hilang,” ungkap La Yusrie.