Sejara Perang Pandan, Tradisi Unik Di Desa Tenganan

Pulau dengan julukan The Island of Paradise menyimpan berbagai keunikan baik itu dari sisi tradisi, seni, dan budaya serta alamnya bak surgawi. Bentang alam yang asri serta pesisir yang indah membuat jagat Bali tersohor ke seluruh dunia. Begitu pula dengan tradisi yang satu ini yaitu perang pandan. Tradisi sakral yang berasal dari salah satu desa Bali Aga di Bali ini kian populer meski diterjang arus perkembangan zaman. Kuatnya desa adat dalam melindungi nilai-nilai budaya yang luhur membuat tradisi ini terus berjalan hingga hari ini.

Desa Tenganan sejatinya sudah terkenal dimata dunia semeton. Namun tak banyak yang memiliki kesempatan untuk melihat langsung tradisi unik yang dimiliki warga setempat. Mengingat tradisi sakral ini hanya dilaksanakan pada hari-hari tertentu saja, jadi ketika semeton berkunjung ke Desa Tenganan belum tentu dapat melihat atau berpartisipasi langsung didalamnya.

Sejarah Perang pandan

Awalnya sebelum masyarakat Bali Majapahit berpindah ke Bali, ada seorang raja yang memerintah masyarakat Bali Aga yaitu Maya Denawa. Beliau adalah seorang raja yang terkenal akan kekejamannya serta sangat sakti. Merasa diri paling sakti dan tak tertandingi Maya Denawa melarang seluruh rakyatnya untuk menyembah Dewa Indra melainkan meminta agar menyebut dirinya sebagai Dewa.

Masyarakat sangatlah geram dengan tingkah laku rajanya tersebut, tindakan yang dilakukan sudah melewati batas wajar sebagai seorang raja. Atas dasar tersebut, masyarakat setempat berdoa dan memohon kepada Dewa Indra untuk membebaskan mereka dari kekejaman Raja Maya Denawa. Setelah usai berdoa, akhirnya Maya Denawa pun dapat dikalahkan dan semua kekejaman serta kesombongan yang telah sekian lama membuat masyarakat terkekang. untuk mengenang kebebasan masyarakat serta menghormati Dewa Indra yang diyakini  sebagai dewa perang, mereka melakukan tradisi Perang Pandan.

READ  Tebu Memiliki Kandungan Yang Penting Untuk Kesehatan

Tradisi Perang Pandan selalu dilakukan oleh pemuda Desa Tenganan sebagai tolak ukur seorang bisa dianggap dewasa karena memiliki nyali untuk melakukan Perang Pandan. Pemuda yang dimaksud disini adalah laki-laki tanpa batasan usia. Jadi siapapun boleh mengikuti tradisi ini tanpa batasan usia, yang penting pemuda ini sudah memiliki keberanian tinggi untuk berperang.

Lawan yang akan dipertemukan juga adil, semua akan mendapatkan lawan yang sepadan sehingga tidak ada kecemburuan sosial. Misalnya lawan bisa dilihat dari kategori anak-anak, remaja, dan dewasa, atau bisa juga dilihat lagi berdasarkan postur tubuh agar seimbang. Ketika semua peserta sudah mendapatkan lawan masing-masing, barulah kemudia ditentukan urutan untuk melakukan tradisi perang tersebut.

Keunikan Tradisi perang pandan

Kalau semeton biasanya melihat orang perang tentunya hal yang terlintas adalah musuh, dendam, dan amarah. Tapi, hal berbeda terjadi saat berlangsungnya perang ini, disini semua peserta bersuka cita, darah yang menetes bukan tanda musuh, melainkan tanda bahwa semua sudah bebas dan tetesan darah dipersembahkan untuk Dewa Indra.

Perang yang satu ini menggunakan pandan sebagai senjata utama. Untuk perlindungan diri setiap peserta diberikan tameng yang terbuat dari anyaman rotan. Tradisi perang pandan memiliki kesamaan dengan tradisi lainnya di Bali yang diawali dengan sembahyang bersama di Pura setempat. Tradisi ini dipimpin oleh juri yang menjadi penentu kalah atau menangnya peserta.

READ  Portugal Melangkah Ke Babak 16 Besar Dengan Meyakinkan

Seperti yang telah diketahui bahwa alat yang digunakan untuk perang adalah pandan berduri sebagai pralambang gada, tetesan darah tak mungkin terhindarkan sebagai akibat saling serang. Disini uniknya semeton, usai perang mereka semua saling bantu untuk mencabut duri-duri pandan yang ada di tubuh rekannya serta mengoleskan obat luka berupa daun sirih dan kunyit. Tidak ada rasa amarah atau dendam, semua akrab satu sama lainnya sebelum ataupun sesudah terjadinya perang pandan.

Penggelaran Perang Pandan di Desa Tenganan

Ritual Perang Pandan digelar selama dua hari berturut-turut yang dilaksanakan setiap bulan kelima atau sasih kelima dalam penanggalan Desa Adat Tenganan. Perang ini dilakukan dari pukul 14.00 sampai selesai tergantung dari jumlah pesertanya. Meski pelaksanaannya hanya dua hari, tapi jangan salah ton, sebelum itu sudah ada persiapan yang matang agar ritual ini berjalan dengan lancar. Persiapan ini biasanya memakan waktu mencapai sepuluh hari dengan melaksanakan berbagai macam ritual lainnya sebelum terselenggaranya tradisi perang yang satu ini.

Pelaksanaan perang diiringi dengan musik khusus yaitu gamelan seloding. Seloding adalah alat musik di daerah Tenganan yang hanya boleh dimainkan oleh orang yang disucikan. Selain itu, alat musik ini tidak boleh dimainkan dalam semua acara, hanya dilakukan pada acara tertentu saja seperti Perang Pandan. Ada juga pantangan lain mengenai seloding ini, yakni tidak boleh menyentuh tanah. Bila ini dilanggar maka masyarakat setempat akan mengalami kejadian yang kurang baik.

READ  Gua Rangko Destinasi Wisata Yang Menghadirkan Keheningan

Semeton juga perlu tahu bahwa tradisi Perang Pandan ini masuk dalam nominasi Pesona Wisata versi Atraksi Terfavorit. Selain itu Karangasem sendiri juga masuk dalam nominasi Desa Adat Terfavorit versi Pesona Wisata. Bagi semeton yang mau melihat langsung tradisi ini bisa cari informasi pelaksanaannya di website resmi Karangasem. Bukan hanya melihat, bagi semeton pemuda yang berani mencoba, diperbolehkan juga untuk berpartisipasi dalam ritual ini.