Watu Pinawetengan merupakan Batu Tempat Pembagian yang terletak di Desa Pinabetengan, sekitar 1000 SM terjadi pembagian sembilan sub etnis Minahasa yang meliputi suku Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tolour/Tondano, Tonsawang/Tombatu, Pasan/Ratahan, Ponosakan, Bantik dan Siau. Selain membagi wilayah, para tetua suku-suku tersebut juga menjadikan tempat ini untuk berunding mengenai semua masalah yang dihadapi.
Syahdan ketika Tu’ur Intana atau pemukiman awal telah dipenuhi oleh keturunan Toar’ dan Lumi’muut (suku Minahasa asli), datanglah berbagai bencana yang mengisyaratkan mereka untuk membuka pemukiman baru. Maka tibalah keturunan minahasa pada sebuah perbukitan (tonduraken), di tempat tersebut terdapat batu besar yang kemudian dinamakan dengan Watu Pinawetengan.
Pemilihan lokasi perbukitan tersebut bukan tanpa alasan, ada tiga faktor yang mendukung hal tersebut. Faktor tersebut antara lain, dekatnya lokasi perbukitan dengan sumber mata air, perbukitan tersebut dianggap sebagai lokasi yang berada di tengah-tengah wilayah Minahasa, dan tidak adanya gangguan.
Goresan-goresan di batu tersebut membentuk berbagai motif dan dipercayai sebagai hasil perundingan suku-suku itu. Motifnya ada yang berbentuk gambar manusia, gambar seperti alat kemaluan laki-laki dan perempuan, motif daun dan kumpulan garis yang tak beraturan tanpa makna.
Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, bentuk batu ini seperti orang bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, bentuk batu ini juga seperti peta pulau Minahasa. Batu ini menurut para arkeolog, dipakai oleh nenek moyang orang Minahasa untuk berunding. Maka tak heran, namanya menjadi Watu Pinawetengan yang artinya Batu Tempat Pembagian.
Batu ini bisa dikatakan tonggak berdirinya subetnis yang ada di Minahasa dan menurut kepercayaan penduduk berada di tengah-tengah pulau Minahasa. Bahkan beberapa orang yang rutin mengunjungi Watu Pinawetengan, ada ritual khusus yang diadakan tiap 3 Januari untuk melakukan ziarah. Sementara itu, karena nilai sejarah dan budaya yang kental, tiap tanggal 7 Juli dijadikan tempat pertunjukan seni dan budaya yang mulai terkikis di Minahasa.
Watu Pinawetengan sebenarnya adalah simbol demokrasi sejati. Peristiwa demokrasi yang terjadi di Watu Pinawetengan bukan seperti teori demokrasi modern yang kita pelajari di sekolah dan di perguruan tinggi. Demokrasi Pinawetengan adalah sebuah tanda bahwa bangsa Minahasa menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Keunikan demokrasi Pinawetengan adalah tatacara musyawarah, proses pengambilan keputusan, dan proses eksekusi keputusan yang sudah diambil. Tatacara musawarah Pinawetengan sangat unik dan mungkin hanya dilakukan oleh bangsa Minahasa pada zaman itu.
Berikut ini urutan proses musyawarah Pinawetengan yang dirangkum dari berbagai sumber dengan menggunakan metode tradisional Minahasa, yaitu menanyakan langsung kepada para leluhur (pelaku sejarah) dengan mediasi para Tonaas.
- Setiap wanua/roong memilih utusan untuk mengikuti musyawarah pinawetengan. Proses adatnya dipimpin oleh seorang Walian (pemimpin agama Malesung-Minahasa).
- Pemilihan utusan itu diawali dengan pengajuan calon, kemudian uji kelayakan dengan tiga syarat utama yaitu ngaas (berpengetahuan), loor/niatean (berhati bersih), dan keter/ente (memiliki kekuatan fisik), lalu masyarakat hanya akan memilih orang yang memenuhi ketiga syarat itu dan diadakan ritual untuk berdoa kepada Amang Kasuruan (“Tuhan Yang Maha Esa” dalam sebutan orang Minahasa) dan menunggu tanda dari Manguni.
- Setelah Manguni telah memberikan tanda baik, maka calon yang terpilih berhak menyandang gelar Tonaas Umbanua.
- Para Tonaas Umbanua dari setiap kampung kemudian disaring lagi ditingkat Pakasaan/Pinaesaan untuk menentukan siapa yang akan menjadi Wali Pakasaan. Ritualnya sama dengan ditingkat roong-wanua.
- Setelah diperoleh Wali Pakasaan, maka dialah yang berhak duduk dalam musyawarah Pinawetengan dengan mendengarkan usulan dan masukan dari para Tonaas Umbanua.
- Maka itu peserta musyawarah tertinggi Pinawetengan disebut Dewan Wali Pakasaan.
Mengingat arti penting Watu Pinawetengan sebagai awal mula peradaban suku Minahasa di nusantara, pada 1 Desember 1974, HV Worang, sebagai Gubernur Sulawesi Utara pada saat itu meresmikan berdirinya Situs Watu Pinawetengan. Kemudian berdasarkan UU No 11 tahun 2010, Situs Watu Pinawetengan diangkat menjadi bangunan cagar budaya yang dilindungi pemerintah. Status tersebut membuktikan, Watu Pinawetengan bukan hanya seenggok batu, tetapi dari sanalah awal mula peradaban Minahasa dibangun dan nilai-nilai kemanusiaan diwariskan.