Belale’an, sebagian besar akan sangat asing ditelinga masyarakat umum, tak terkecuali Suku Madura pada umumnya.Suku Madura di Desa Wajok Hilir mengartikan kata “belale’an” yakni gotong royong atau “keroyo’an” pada saat bekerja, yang dilakukan pada saat berladang, seperti menanam padi, tanam semangka, panen padi, dan beberapa hal kegiatan yang berkenaan dengan pertanian atau perkebunan.
Belale’an merupakan pekerjaan yang tidak di bayar dengan uang, atau digaji “ngopa”. Pekerjaan ini dilakukan dengan permintaan tuan rumah, atau keluarga yang mau menanam padi dan mengajak sanak saudara atau keluarga atau tetangga satu kampung.
Sedangkan untuk konsumsinya disedikan oleh tuan rumah atau keluarga yang mau mengambil “belale’an” kepada keluarga atau tetangga yang mau membantunya. Konsumsi yang disediakan pun sederhana dan bebas, seperti kolak “kolek” kacang hijau, gorengan, nasi dan lauk ikan asin, telur, ataupun beberapa makanan yang disediakan alakadarnya dan dengan nikmat tentunya.
Secara sepesifikasi kegiatannya, yakni ketika memanen padi atau “ngetam”, menanam padi “nogel”, menanam semangka “nyangkol”. Sistem kerja dalam “belale’an” ada pembagiannya. Pembagian kerja dilakukan menurut kesepakatan bersama antar satu dengan yang lain atau lebih tepatnya kesepakatan yang dilakukan oleh siapa saja yang ada ditempat atau diladang tersebut.
Suku Madura dengan gaya simpelnya dan gaya nurutnya terhadap menghargai dangan menghormati terhadap yang paling tua atau dianggap petuah itu dilakukan di setiap aktivitas apapun.
Kadang kala, ada keluarga yang sudah memiliki usia sudah tua tetapi tetap saja ingin ikut kerja. Hal ini sudah pasti dilakukan pembagian kerja dengan tolak ukur usia yang menjadi patokan.
Belale’an kata lain dari definisi Bhineka Tunggal Ika. Dari tradisi belale’an tingkat toleransi dan menghargai perbedaan pendapat dan berbagai hal terjalin dengan baik. Bentuk gotong royong dalam mengaplikasikan dikehidupan sehari-hari yakni salah satunya Belale’an.
Tradisi Belale’an ini kental dilakukan terus menerus sampai era modern saat ini. Ini keunikan terendiri dari Suku Madura di Desa Wajok Hilir Dusun Palawija Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat. Modal sosial yang tinggi menjadikan Suku Madura sebagai salah satu suku dengan 1000 Tradisi. Suku Madura setiap seminggu sekali lebih dari lima kali akan melaksanakan tradisi sosial yang terus dilakukan hinggat saat ini.
Manfaat Tradisi Belale’an
- Menghilangkan Rasa Kebencian
Adanya tradisi Belale’an ini akan mengaktifkan dan memproduktifkan komunikasi antar individu yang satu dengan yang lainnya.
- Meningkatkan Rasa Solidaritas
Apa iya tradisi Belale’an dapat meningkatkan rasa solidaritas sosial? Sudah pasti, iya. Tradisi Belale’an akan membentuk kerjasama yang baik. Kerjasama dalam kegiatan apapun dan aktifitas apapun.
- Meningkatkan Rasa Kepercayaan
Kepercayaan tentunya sangat dibutuhkan dalam kerjasama. Kepercayaan antar satu dengan yang lain terjadi secara alamiah. Misalnya, ketika mereka ngobrol apapun yang di obrolkan rasa saling percaya tersebut akan terjadi dengan sendirinya tanpa ada settingan.
- Mempererat Kekeluargaan
Belale’an dilakukan tergantung dari siapa yang yang mau meminta bantuan. Hal ini dilakukan dengan bergiliran jika banyak yang mau meminta bantuan atau mengajak untuk melakukan aktifitas kerja dalam konteks seperti yang penulis sampaikan di atas.
Asal Muasal Dusun Palawija
Dusun palawija, salah satu dusun yang berada di Desa Wajok Hilir Kecamatan Jongkat, Kabupaten Mempawah. Menurut petuah Dusun Palawija, Madi (Dusun) mengatakan, “dinamakan Dusun Palawija ini sudah dari dulu dan diberikan nama oleh petuah-petuah Desa Wajok Hilir”.
Waktu kerja
Waktu kerja seperti pada umumnya, yakni turun dari rumah pukul 06:00 pagi dan pulang pukul 10:00. Tidak ada tekanan dan paksaan dari siapapun, ini tradisi yang sudah dilakukan dari dulu sampai saat ini. Sudah sangat lama kebiasaan baik “belale’an” ini dilakukan, tidak tahu dari tahun berapa maupun dari abad keberapa. Tapi, ini hanya sedikit wejangan saja, mempublikasikan tradisi baik ini kedalam dunia masyarakat umum.
Dusun Palawija, dihidupi dan di diami oleh mayoritas suku madura, bisa dibilang homogen banget. Tapi, diluar itu masyarakat Suku Madura disana bukan tidak toleran, hanya saja tradisi yang unik salah satunya yakni kehidupan mengelompok sesama keluarga, seperti sepupu “sepopoh” , ponakan “penakan”, saudara sedarah “tretan” dan lain sebagainya yang berkaitan dengan suku madura.
Even “belale’an” ini tidak sembarangan ada setiap hari, juga tidak pula menunggu setahun sekali untuk menemukan tradisi ini. Tradisi ini hanya aka ada pada momentum dan waktu tertentu, seperti musim tanam padi, musim tanam semangka, atau musim tanam keladi.
Tak hanya itu saja, Desa Wajok Hilir memiliki Tujuh Dusun, yang semuanya dinamakan nama-nama tanaman, seperti Dusun Padi, Dusun Cokelat, Dusun Jeruk, Dusun Nanas, Dusun Kopi, Dusun Kelapa, Dusun Keladi. Tetapi, yang membuat beda dan paling berbeda, yakni Dusun Palawija.
Sejarah yang beredar dari cerita-cerita rakyat Wajok Hilir, dulunya Desa Wajok Hilir merupakan desa yang penuh dengan berbagai pendapatan dan hasil pertanian yang melimpah. Masing-masing dusun ini memiliki potensinya tersendiri sesuai dengan nama dusun yang ada.
Hal ini terus berlanjut dengan potensi hasil pertanian yang melimpah dan berjalan sampai saat ini. Seiring berjalannya waktu, hingga saat ini beberapa dusun mengalami pemerosotan hasil pertaniannya.
Banyak masyarakat yang mengeluhkan. Tergerusnya potensi hasil pertenian tersebut banyak pabrik-pabrik yang beridiri dan semakin kesini pula banyak bangunan-bangunan yang didirikan oleh masyarakat sekitar dan juga masyarakat dari luar daerah.
Sehingga, lahan-lahan yang sebelumnya jadi lahan pertanian, kini menjadi lahan bangunan-bangunan. Selain itu pula, perusahaan-perusahaan sawit pun semakin menyebar luas dan membeli lahan-lahan masyarakat sekitar.
Keunikan Dusun Palawija, yakni potensi tanah yang subur memberikan kehidupan yang baik untuk kehidupan masyarakat sekitar. Sesuai dengan namanya, tanaman apapun selama masih tumbuh di tanah Kalbar, tetap saja akan tumbuh di Dusun Palawija.
Yah, dengan keunikah tersebut, masyarakat Dusun Palawija pun hidup dengan hasil pertaniannya. Dimana, dusun palawija, setiap bulan puasa pasti menghasilkan hasil pertanian yang melimpah, seperti semangka yang bisa ratusan ton, blewa, keladi, dan berbagai macam hasil pertanian yang lainnya. Tak terkecuali Padi yang dikonsumsi sendiri oleh masryarakat.
Bukan hanya itu saja, sebagian masyarakat yang tidak memiliki lahan untuk bertani atau bercocok tanam, mereka akan diberikan oleh masyarakat yang memiliki lahan pertanian, baik hasilnya langsung atau disuruh numpang untuk bercocok tanam. Hal ini terus terbentuk rasa saling membantu satu sama lain. Ini semua dihasilkan dari salah satu aktifitas kegiatan belale’an tadi.
Sejarah bercocok tanam memang sudah banyak penelitian dari berbagai peneliti dalam ranah disiplin ilmu yang berbeda-beda. Namun dalam catatan sejarah Indonesia, terdapat beberapa daerah dengan tradisi cocok tanam yang unik, tak terkecuali dengan masyarakat Madura.
Menurut Kuntowijoyo dalam bukunya berjudul “Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura (1850-1940)“ menyebutkan, di dalam tradisi bercocok tanam masyarakat Madura sangatlah unik. Keunikan tersebut terletak pada bagian-bagian tertentu yang bisa kita jumpai hingga saat ini.
Sejarah Bercocok Tanam Masyarakat Madura Tahun 1900- an
Berikut penjelasan 5 sistem unik berkebun masyarakat Madura tahun 1900-an yang pastinya belum anda ketahui. Silahkan simak penjelasan lebih lanjut dibawah ini.
Kurang Berkembang Dibandingkan Jawa
Menurut Kuntowijo dalam buku yang sama (2002 : 45) menyebutkan, jika di Madura cara bercocok tanamnya kurang berkembang dibandingkan dengan cara bercocok tanam yang ada di Jawa. Beberapa data sejarah juga menunjukkan sekitar tahun 1900-an teknik pembibitan model plot di sawah kurang berkembang.
Sementara sistem penanaman dengan menggunakan teknik uritan hampir merata di Jawa. Sedangkan di Madura hanya dipraktikkan dalam skala yang kecil.
Para masyarakat agraris di Madura hanya mengetahui sistem bertani menggunakan teknik sebaran, namun sistem yang mereka terapkan hasilnya selalu kekurangan. Inilah salah satu bukti jika cara bercocok tanam di Madura kurang berkembang.
Lebih Akrab Menggunakan Pupuk Alam
Ciri unik bercocok tanam pada masyarakat agraris di Madura juga terlihat dalam hal penggunaan nutrisi pupuk untuk tumbuhan pangan yang cenderung menggunakan pupuk alam seperti kotoran lembu.
Secara ilmiah, menggunakan pupuk alam untuk mencukupi nutrisi tumbuhan pangan, seperti padi dan biji-bijian lain adalah termasuk upaya manusia untuk menghasilkan makanan yang sehat.
Sementara menurut penelitian sejarah bercocok tanam oleh Kuntowijoyo menyebut, penggunaan pupuk alam yang berasal dari kotoran lembu disebabkan oleh karena masyaraka di Madura memiliki jumlah lembu atau sapi yang cukup banyak. Maka dari itu kotoran yang berasal dari hewan tersebut bisa dimanfaatkan sebagai pupuk gratis dan alami.
Menanam Padi di Tegalan
Tegalan adalah lahan yang berbentuk kebun alias bukan sawah. Sebagian orang menyebutnya dengan lahan/sawah kering. Masyarakat agraris Madura memiliki kebiasaan menanam padi di tegalan. Penanaman tersebut berlangsung selama musim hujan. Dalam bahasa Madura, pola berladang seperti itu bernama gagaranca.
Teknik Penanaman Ganda
Masyarakat agraris di Madura juga sering menggunakan teknik penanaman Ganda pada bidang pertaniannya. Namun, sebagai catatan, praktik penanaman ini dikerjakan bila memungkinkan. Artinya, teknik penanaman ini merupakan cara bercocok tanam musiman. Bercocok tanam seperti ini sangat mudah kita jumpai apabila di wilayah Madura sudah menginjak musim hujan.
Sementara itu, teknik penanaman Ganda adalah suatu sistem bercocok tanam dua jenis tumbuhan dengan cara membagi lahan saat musim hujan berlangsung.
Teknik ini untuk meraup keuntungan ganda dalam satu kali panen. Sebab, Madura memiliki curah hujan yang relatif rendah daripada dengan pulau Jawa. Dengan cara penanaman ini, daerah Madura bisa memanfaatkan musim sebagai peluang bisnis hasil pertanian.
Jenis Bibit Padi dengan Masa Pertumbuhan Singkat
Keunikan lain dalam tradisi bercocok tanam masyarakat agraris Madura juga terbilang langka. Sebab mereka terbiasa menggunakan jenis bibit padi dengan masa pertumbuhan yang singkat.
Hanya sedikit yang masyarakat di Madura yang memiliki dan menggunakan bibit dengan masa pertumbuhan yang lama.Hal ini karena keterbatasan persediaan air yang cenderung langka di Madura, lebih tepatnya jumlah curah hujan yang relatif rendah.
Oleh sebab itu, maka kebanyakan petani akan memilih jenis bibit padi yang memiliki waktu cukup singkat menuju panen. Ini bertujuan untuk menghindari gagal panen karena jumlah curah hujan yang sangat jarang menghampiri tanah Madura.
Pandai menyesuaikan diri dengan Alam
Sebagai bahan refleksi dari sejarah bercocok tanam di Madura, ternyata masyarakat agraris di sana sangat pandai menyesuaikan diri dengan alam.
Masyarakat agraris Madura adalah kelompok masyarakat yang hebat dan cerdas. Mereka bisa menyesuaikan diri dengan alam di tengah keterbatasan.
Risiko kekurangan persediaan air tidak akan menjadi halangan yang begitu berat, sebab jiwa keras orang Madura yang gigih dalam bekerja terutama bercocok tanam akan mereka lakukan dalam kondisi apapun.
Semangat orang Madura pada tahun 1900-an seharusnya patut menjadi contoh setiap golongan masyarakat yang ada di Indonesia.