Bagi warga Kesiman dan sekitarnya, Pengerebongan mungkin sudah lumrah didengar atau disaksikan, namun upacara ini menjadi unik di mata orang-orang yang baru mengetahuinya dari desas-desus informasi di media sosial yang makin marak.
Masyarakat Desa Kesiman Petilan, Denpasar, selalu memperingati Pengerebongan, yang jatuh pada Redite Pon, Wuku Medangsia. Upacara sakral ini pun dilaksanakan setiap 210 hari sekali (6 bulan), kurang lebih seminggu setelah Hari Raya Kuningan, dengan rentetan upacara yang mencapai sebulan lamanya sebelum sampai di puncak, yakni Pengerebongan.
Mengenal Pengerebongan
Ciri khas dari Pengerebongan adalah diparadekannya penjor-penjor raksasa yang megah dan indah, serta tradisi ngurek yang identik dengan kerauhan (kerasukan), yang mana para keturunan pepatih dan orang-orang yang memiliki anugerah tersebut akan berteriak histeris, menari, hingga menusukkan keris atau tombak ke bagian tubuhnya.
Pengerebongan ini berasal dari kata ‘Rebu’ atau ‘Pengerebuan’ yang hanya menggunakan satu jenis banten (sesajen) yaitu Banten Pengerebu untuk penyucian alam semesta. Bantennya pun terbilang unik karena memakai ulam Guling Penyugjug (babi yang belum dikebiri dan diguling), namun guling ditusuk dari pantat tembus ke kepalanya. Cara yang terbalik dari biasanya.
Tujuan Dan Makna
Ketika puncak upacara ini, unsur magisnya begitu kuat sehingga tidak jarang para pengunjung juga ikut kerauhan atau kesurupan. Upacara ini tergolong dalam upacara Bhuta Yadnya atau pecaruan. Upacara itu bertujuan untuk mengingatkan umat Hindu melalui media ritual sakral untuk memelihara keharmonisan hubungan antarmanusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan sesama umat manusia dan dengan alam lingkungannya. Upacara Pengerebongan diawali dengan upacara Nyanjan dan Nuwur.
Tujuan upacara ini untuk memohon kekuatan suci batara-batari agar turun melalui pradasar-nya dari para umat. Umumnya para pengusung rangda dan pepatihnya setelah dilakukan upacara Nyanjan dan Nuwur itu dalam keadaan kerauhan. Setelah itu semua barong dan rangda serta pepatih yang dalam keadaan kerauhan tersebut keluar dan mengelilingi areal wantilan pura tersebut sebanyak 3 kali.
Saat melakukan prasawia itu, para pepatih melakukan ngunying atau yang dipakai ngurek itu keris tajam yang sungguhan, dada para pepatih itu sedikit pun terluka. Kalau sudah acara prasawia ini selesai semuanya kembali ke Gedong Agung dengan upacara Pengeluwuran. Mereka yang trance kembali seperti semula.
Setelah upacara Pengeluwuran itu maka dilanjutkan dengan upacara Maider Bhuwana Batara-batari para Manca dan Prasanak Pangerob dengan semua pengiringnya kembali mengelilingi wantilan tiga kali dengan cara Pradaksina. Mengelilingi dengan cara Pradaksina berlawanan dengan cara Prasawia tadi.
Selanjutnya upacara mengelilingi wantilan dengan cara Pradaksina dimulai dari arah timur menuju selatan terus ke barat menuju utara dan kembali ke timur. Pradaksina ini dilakukan tiga kali sebagai simbol pendakian hidup dari Bhur Loka menuju Bhuwah Loka dan yang tertinggi menuju Swah Loka yaitu alam kedewatan. Karena itulah upacara ini disebut upacara Maider Bhuwana mengelilingi alam semesta. Setelah selesai mengelilingi wantilan dengan Pradaksina semuanya kembali ke Jeroan Pura.
Adanya prosesi Prasawia dan Pradaksina dalam upacara Pengerebongan di Pura Petilan Kesiman ini sangat menarik untuk dipahami makna filosofinya. Prosesi Prasawia bermakna untuk meredam aspek Asuri Sampad atau kecenderungan keraksaan, sedangkan Pradaksina sebagai simbol untuk menguatkan Dewi Sampad yaitu kecenderungan sifat-sifat kedewaan. Kalau kecenderungan keraksasaan (Asuri Sampad) berada di bawah kekuasaan Dewi Sampad maka manusia akan menampilkan perilaku yang baik dan benar dalam kehidupan kesehariannya.
Adapun makna dari Upacara Pengerebongan ini adalah untuk mengingatkan kebersamaan umat Hindu melalui ritual sakral untuk menjaga keharmonisan yaitu dengan memelihara hubungan antar manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan Tuhan serta meningkatkan spiritual umatNya.
Selain itu, tujuan dari pelaksanaan upacara ini adalah untuk tetap menjaga eksistensi kebudayaan Bali di tengah era globalisasi saat ini yang mana sisi-sisi kebudayaan semakin memudar dan tak jarang digantikan oleh kebudayaan-kebudayaan modern.